Skip links

Ruang aman untuk berbicara, bertukar pikiran, bersama-sama membekali diri.

Bulan Palestina. Untuk apa?

Duduk perkaranya terdengar simpel. Tapi masalahnya tak kunjung tuntas.

Ini analogi sederhananya: saya mengambil alih rumah keluarga Anda dengan bantuan preman, lalu memaksa Anda hidup di pinggiran lahan dalam kondisi kekurangan. Air, listrik, obat-obatan, dan akses keluar masuk, saya kontrol sepenuhnya. Anda sesekali melawan, karena itu banyak dari anggota keluarga Anda saya tembak, tangkap, dan bui. Selang puluhan tahun, warga sekitar ikut campur mendamaikan, lalu ditekenlah sebuah kesepakatan: lahan dibagi dua. Sebelah sini punya saya. Sebelah sana punya Anda. Tak adil memang, karena ini aslinya lahan Anda, tapi ini solusi kompromi terbaik. Namun celakanya, setelah bertahun-tahun, saya dan preman-preman pendukung saya pun tetap tak sudi mematuhi kesepakatan itu.

Saya dalam cerita di atas adalah Israel. Preman tadi adalah Inggris dan para sekutunya. Anda adalah Palestina — dan sekarang Anda dan keluarga saya bantai besar-besaran, gara-gara kembali melawan untuk merebut kembali lahan Anda sendiri.

Cerita di atas adalah simplifikasi, tentu saja. Banyak dimensi dihapus. Misalnya tentang keputusan Inggris membentuk negara Israel sebagai imbal jasa warga Yahudi yang membantu dalam perang melawan Ottoman dan Jerman. Atau tentang problem geopolitik di mana AS dan kroninya perlu memelihara Israel sebagai antek loyal di Timur Tengah. Atau tentang dukungan terselubung Perdana Menteri Israel Netanyahu kepada Hamas agar perlawanan kecil-kecilan dari Palestina tetap hidup dan “solusi dua negara” tak bisa wujudkan atas dalih “Palestina menolak berdamai.” Atau tentang kaum evangelical yang menyumbang pendirian permukiman ilegal Yahudi agar kaum Yahudi sedunia segera berkumpul di Palestina sebagai syarat Mesiah turun dari langit. Atau ini… Atau itu… Daftarnya terlalu panjang untuk disebut di sini.

Yang pasti, jika semua kompleksitas itu kita pertimbangkan, persoalannya kelewat rumit. Akar masalah yang tadinya sederhana, yakni penjajahan Israel di Palestina, kini mirip benang kusut yang sukar diurai lantaran melibatkan banyak orang, aspek, dan negara. Pertanyaannya, bagaimana kita mencerna itu semua? Mulai dari mana? Dan dengan cara apa kita bisa berkontribusi?

Pertanyaan-pertanyaan inilah yang coba dijawab melalui Bulan Palestina, sebuah inisiatif kecil dengan mimpi besar dari taman baca muda di kabupaten kecil yang tak punya bandara dan stasiun.

Bulan Palestina berangkat dari premis bahwa isu Palestina menyangkut kita semua. Baik sebagai manusia, ataupun sebagai bangsa yang percaya “kemerdekaan adalah hak segala bangsa dan karena itu penjajahan harus dihapuskan.”

Betul, kekerasan tak cuma melanda Palestina. Di Myanmar dan Ukraina, ada genosida dan perang. Yaman, Ethiopia, Xinjiang, Irak, Suriah, dan Sudan juga masih panas oleh konflik. Akan tetapi, ada yang partikular dari kasus Palestina, dan ini alasan tambahan kenapa Bulan Palestina perlu diselenggarakan.

Mereka yang mengikuti berita mungkin sudah menyadari betapa tragedi Palestina membelah dunia. Ada aliansi pendukung Israel, koalisi pendukung Palestina, dan kelompok abstain yang takut memilih ke kanan atau kiri. Di dalam negara-negara yang terbagi sikap ini, suara warganya ikut terbelah, yang kadang sukar dipahami. Ada misalnya, rabi-rabi Yahudi di AS yang mengutuk pembantaian warga Palestina. Ada pula kaum neo-Nazi di AS yang ironisnya justru mendukung Israel, padahal kita tahu dulu Nazi membantai orang Yahudi.

Seiring pembelahan itu, genosida yang dilancarkan Israel juga merusak tatanan global, baik dalam hal politik, hukum, ekonomi, ataupun norma-norma dasar. Israel dan proksinya membuat PBB tak berkutik. Mereka juga tak menggubris vonis pengadilan perang dan HAM. Standar ganda mereka diperagakan dengan terbuka dan bangga. Lewat tekanan pemilik modal dan uang iklan, mereka juga sukses membuat banyak media massa membuang kode etik dengan terang-terangan mendukung genosida. Setali tiga uang, banyak perusahaan multinasional hingga platform media sosial dipaksa berpihak dengan cara meredam suara-suara pendukung Palestina. Hikmah yang bisa dipetik: kejahatan kemanusiaan ini dilancarkan secara gotong-royong. Hikmah lainnya: semua ini adalah formula yang bisa diduplikasi di tempat lain, di waktu lain, dan ini ancaman bagi kita semua.

Sebagai makhluk bumi, kita sadar bahwa apa yang terjadi di satu tempat bisa berdampak ke banyak lokasi lain, dan globalisasi membuat dampak itu bisa melebar dengan kecepatan gigi lima. Konflik di Timur Tengah memengaruhi jalur distribusi barang dan harga minyak. Genosida memicu arus pengungsi ke mana-mana. Emisi industri, termasuk dari industri senjata, mempercepat krisis iklim bumi. Boikot terhadap musisi favorit Anda memengaruhi nasib kenalan atau kolega yang bekerja di perusahaan promotor, ticketing, katering, keamanan, rental lampu dan sound system. Lalu, suatu hari, Anda membuka internet dan menemukan ulama tetangga Anda ternyata diundang bertemu Netanyahu demi membentuk opini positif terhadap Israel di Indonesia — dan akibatnya Anda pun dirundung ragu: masih mau datang ke pengajiannya?

Walaupun kita memilih cuek terhadap apa yang terjadi di Palestina, cepat atau lambat kita menerima efek sampingnya. Di titik ini, merasa prihatin saja mungkin tak lagi memadai. Kita akan dipaksa bersikap, juga berbuat.

Apalagi, akibat luasnya magnitude genosida Israel, kita pun kadang merasakannya dalam wilayah personal yang sangat privat. Ada banyak hal di sekitar kita yang kini mengundang pertanyaan moral. Benarkah sepatu yang saya kenakan dibuat oleh perusahaan yang mendukung pembunuhan ribuan orang? Benarkah kopi yang saya minum berlumuran darah para korban? Jika saya memboikot sepatu dan kopi nista ini, bagaimana nasib para karyawan mereka di Indonesia? Dan bagaimana pula saya harus menyikapi idola-idola saya di Hollywood yang membela zionis? Dosakah saya jika menonton Gal Gadot dan Chris Pine dalam Wonder Woman?

Dihadapkan pada dunia yang terbelah, Bulan Palestina ingin menyediakan ruang aman untuk berbicara dan bertukar pikiran terkait Palestina, dari pertanyaan-pertanyaan besar hingga kegelisahan-kegelisahan personal. Tak ada aksi jalanan di sini. Tak ada pula paksaan untuk berteriak dan berorasi. Yang ada hanyalah ajakan untuk peduli dan membekali diri.

Kata petuah bijak: “The ultimate tragedy is not the oppression and cruelty by the bad people, but the silence over that by the good people”. Kita mungkin belum menjadi manusia yang baik, tapi setidaknya kita bisa memelihara rasa kemanusiaan.

Ditunggu kehadirannya,

Pustawakan Melek Huruf

This website uses cookies to improve your web experience.