Skip links

Warung Pak Parno: Sensasi Umami Versi Jawa

Diasuh seorang fotografer, warung sederhana ini sukses racik ‘rasa kelima’ dalam menu tradisional.

Ini mungkin warung yang paling percaya diri. Buka hanya di malam hari. Menunya tak tersedia di GoFood dan GrabFood. Sistem antreannya tak pandang bulu, tak peduli siapa pun tamunya. 

Contohnya malam itu, 6 Juni 2021. Ajudan Menteri Pekerjaan Umum telepon, bilang Pak Basuki mau mampir. Tapi kursi yang tersisa tak memadai. Si mbak koki pun merespons halus: “Lain kali ke sini lagi.” Luar biasa, bukan? Menteri disuruh atur ulang jadwal.

Namanya Warung Nasi Goreng Pak Parno. Melacaknya susah-susah gampang. Maklum, alamatnya strategis, tapi posisinya agak tersembunyi. Warung ini terselip di antara rumah warga, sekitar 500 meter dari pagar Borobudur. 

Warung Nasi Goreng Pak Parno
Seluruh menu dimasak dengan kompor arang. (Foto: Melek Huruf)

Saya dapat rekomendasi warung ini dari Romi Perbawa, fotografer asal Surabaya. Entah Mas Romi tahu dari mana. Mungkin dari jaringan profesi. Kebetulan, pemilik warung juga seorang fotografer. 

Yang jelas, warung ini memang kondang. Ulasannya sudah tayang di sejumlah media. Di antara mantan kliennya, ada beberapa politisi teras. “Mbak Puan dan Pak Jokowi pernah ke sini,” kata si mbak koki lagi.  

Tapi jangan membayangkannya sebagai resto mewah. Walau model bisnisnya percaya diri, wujudnya rendah hati. Bangunannya polos tanpa cat, juga tanpa dinding, kecuali hanya beberapa partisi gedek. Area makannya ditaburi meja dan kursi kayu, plus beberapa “kursi bakso.” Namanya juga warung.  

Warung Nasi Goreng Pak Parno
Kompor arang. Kanan: Air jeruk murni, menu minuman spesial. (Foto: Melek Huruf)

Dapurnya diletakkan di sisi muka. Daftar menu juga tertulis di sini. Tak banyak pilihannya. Hanya ada nasi, mi, serta bihun. Kita tinggal sebut mau diolah versi goreng atau godok. Harganya Rp25.000 per porsi. Pakai telur, tambah Rp5.000. 

“Terserah masnya mau pesan apa, tiap orang kan seleranya beda,” jawab si mbak koki, saat saya bertanya menu spesialnya.” Kata-katanya ini bukan lip service, melainkan standar servis baku. Di rak kaca dapur tertulis pengumuman: “Saya memasak untuk Anda, sesuai keinginan Anda.” 

Malam itu, saya pilih mi godok. Pas dengan udara malam yang sejuk. Nina, istri saya, pesan mi goreng. Sengaja beda pilihan supaya bisa saling cicip. Order kami dicatat dan pesanan langsung dimasak memakai kompor arang. 

Warung Nasi Goreng Pak Parno
Lokasinya terselip di area permukiman, 500 meter dari Candi Borobudur. (Foto: Melek Huruf)

Saat menanti hidangan, pemilik warung datang. Suparno, seorang fotografer merangkap restaurateur. Kombinasi profesi yang cukup langka memang. Lebih langka lagi, dia sukses di kedua bidangnya itu.   

Pak Parno adalah pensiunan Balai Konservasi Borobudur. Di lembaga inilah dia mengenal kamera. Saat bekerja dari 1973-2008, Pak Parno lebih sering kebagian tugas dokumentasi. Banyak foto lawas Borobudur dan Magelang merupakan hasil jepretannya. Karya-karyanya adalah arsip sejarah.

Tak heran, Pak Parno bak legenda hidup di kalangan fotografer. Dialah yang “menemukan” sudut-sudut terbaik memotret Borobudur, termasuk Punthuk Setumbu. Beberapa episode sejarah yang penting juga direkamnya, contohnya restorasi Borobudur pasca-teror bom. “Takut juga saya waktu itu,” kenangnya tentang tragedi 1985 itu, “ada dua bom gagal meledak.”  

Di tengah obrolan seru, hidangan tersaji. Sekilas pandang, tampilannya lumrah saja. Namun, dalam suapan pertama, sensasi unik langsung tertangkap di lidah. Ada cita rasa kaldu yang tak pernah saya temukan pada mi godok. Karakternya lebih mengingatkan pada kuah ramen. Ada kombinasi asin, manis, gurih, dengan tekstur sedikit pekat. 

Saya lalu mencicipi mi goreng pesanan Nina. Ada kandungan rasa janggal serupa. Inikah umami versi Jawa? Mungkinkah warung sederhana ini sukses meracik “rasa kelima” dalam masakan tradisional?

Warung Nasi Goreng Pak Parno
Teman menunggu antrean makanan. (Foto: Melek Huruf)

“Saya pakai ayam kampung,” jelas Pak Parno tentang rahasia kaldunya. “Tapi bukan sembarang ayam kampung. Hanya pakai yang betina. Betinanya juga yang masih produktif, masih bertelur. Kalau tidak produktif, rasanya lain.”

Kata Pak Parno, resep masakannya diturunkan dari orang tuanya, yang dulu berjualan di daerah Prambanan. Saat dia mulai merintis usaha warungnya sendiri pada 1990, resep warisan itu disempurnakan. Awalnya, warung ini terhampar di serambi rumah. Pada 2019 direlokasi ke lahan yang lebih lapang.  

Saya menyantap mi godok hingga ludes, ditemani kerupuk kampung yang memberi sound effect khas Indonesia. Mendekati tetes kuah terakhir, otak bisnis saya mulai berdetak. Kenapa warung ini tidak diwaralaba? Pasti laris jika dibawa ke Jakarta. 

“Sudah ada yang menawarkan. Tapi saya belum mau,” jawab Pak Parno. “Saya mau ‘angkat’ Borobudur-nya, ingin orang datang ke sini.”

 
Panduan Berkunjung
  • Alamat: Jl. Bimo, Dusun XIII, Borobudur, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah (Google Maps)
  • Jam buka: Setiap hari, 17:00-21:30
  • Telepon: 0857-2943-9626
  • Bujet: Rp70.000-80.000 untuk 2 orang
  • Tips: Sebaiknya telepon sebelum berkunjung karena makanan cepat habis

Leave a comment

This website uses cookies to improve your web experience.